MENJAWAB OCEHAN SAMPAH PERDANA AHMAD LAKONI (PART 2)

Oleh : Ibnu Abdillah Al Katiby (Pembina KBRA)

Mereka yang memulai lebih dahulu dengan ucapan-ucapan profokasi dan fitnah tanpa mau tabayyun mendatang kami terlebih dahulu. Sangat males meladeni mereka hanya untuk membantah perkara-perkara yang sebenarnya sudah dibahas tuntas oleh para ulama kita sebelumnya, dan sekarang dibuat isyu kembali lagi oleh orang yang mungkin puber dalam masalah ruqyah.

Fitnahah demi fitnahan mereka lontarkan kepada kami di zaman yang memeang sedang kalut dengan fitnah lahir dan batin ini, bukan mempererat ukhuwwah dan persatuan justru menambah fitnahan dan permusuhan, kok hoby sekali ngajak bermusuhan…situ sehat?

Fitnahan berikutnya yang dilontarkan Perdana Ahmad Lakoni (PAL) kepada Ruqyah Aswaja adalah “ Memperbolehkan pake azimat, wifiq, aufaq dan rajah “.

Saya jawab :

Sepertinya memang asumsinya berasal dari buruk sangka secara total dengan para pruqyah Aswaja. Saya agak paham karakter dan kepribadian si PAL ini. Belakangan ini dia sedikit melunak kepada umat muslim lainnya dikarenakan tragedi 212 yang menyatukan semua elemen masyarakat dari golongan manapun adanya. Merasakan persatuan dan kedamaian yang diadakan oleh pentolan Aswaja yaitu Habib Rizieq Syihab. Sejak saat itu hatinya mulai tersentuh dan sedikit melunak, meskipun kadang kumat-kumatan. Nah sepertinya saat ini mulai kumat kembali kepuberannya dan watak kerasnya akibat vibrasi dengan kawan-kawan segolongannya yang dipandangnya angkuh dan sombong, terlihat permusuhan yang kental dalam beberapa postingannya dengan sesama mereka sendiri atau mungkin pemikirannya yang terlalu primitif. Dan akhirnya berimbas dengan ruqyah Aswaja yang dituduhnya sebagai para dukun berkedok ruyah.

Masalah jimat, wifiq, dan rajah. Dalam pembimbingan KBRA ketika menangani pasien, maka kami tanyakan dahulu amalan atau jimat yang mungkin masih digunakan, diletakkan, dipendam ataupun disimpan. Setelah jimat-jimat tersebut diberikan kepada kami, maka tidak lantas kami memvonis jimat tersebut haram apalagi syirik karena haram dan syirik berkaitan erat dengan fiqih dan aqidah dan semua kembali kepada niat si pelaku atau pengamal. Jimat itu kami buka terlebih dahulu kemudian kami kaji, jika dalam jimat ataupun rajah yang bertentangan dengan kaidah ulama Ahlus sunnah, maka kami katakan jimat itu haram dan kemungkinan mengandung unsur jin di dalamnya. Jika jimat itu tidak bertentangan dengan kaidah Ahlus sunnah wal Jama’ah, maka kami tidak katakan haram namun kami luruskan niatnya di dalam menggunakan jimat yang tidak diharamkan tersebut agar tidak ada setan dan jin yang berpotensi memanipulasinya.

Dalam pandangan dan akidah Ahlus sunnah wal jama’ah kami punya peraturan sendiri dan inilah yang dipegang oleh MAYORITAS UMAT muslim seluruh dunia yang ditentang oleh kaum minoritas yang berhaluan dengan akidah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang belakangan pengikutnya disebut kaum wahhabiyyah atau salafiyyah.

Di antara pokok akidah umat islam adalah tidak ada pengaruh independen bagi setiap makhluk apapun. Barangsiapa yang meyakini adanya pengaruh independen bagi selain Allah, maka ia telah jatuh pada kesyirikan. Apabila meyakini bahwa jimat tidak membawa pengaruh secara independen, maka ada dua keadaan; adakalanya berisi ayat al-Quran dan adakalanya bukan dari ayat al-Quran. Jimat yang bukan dari ayat al-Quran, adakalanya berisi dari dzikir, wirid atau doa yang baik, maka ini hukumnya boleh. Apabila berisi selain itu misalnya dari tholsamat atau kalimat yang tidak bisa dipahami secara baik bahasa Arab atau bahasa lainnya, maka hukumnya tidak boleh.

Adapun jimat yang terdiri dari ayat al-Quran atau dzikir, wirid dan ucapan yang baik, maka mayoritas ulama ahli fiqih dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan satu riwayat dari imam Ahmad menghukumi boleh menjadikan gantungan (di leher atau sesuatu lainnya), mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“ Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Isra’:82)
Imam al-Qurthubi mengomentari ayat tersebut :

اختلف العلماء في كونه شفاء على قولين: أحدهما: أنه شفاء للقلوب بزوال الجهل عنها وإزالة الريب، ولكشف غطاء القلب من مرض الجهل لفهم المعجزات والأمور الدالة على الله تعالى. الثاني: شفاء من الأمراض الظاهرة بالرُّقى والتعوذ ونحوه

“Para ulama berbeda pendapat tentang al-Quran sebagai obat, menjadi dua pendapat; pertama al-Quran dalah obat bagi hati dengan hilangnya kebodohan dan keraguan, terbukanya penutup hati dari penyakit bodoh, sebab kepahaman mu’jizat dan perkara-perkara yang menunjukkan atas Allah Ta’ala. Kedua al-Quran adalah obat dari segala penyakit dhahir dengan cara ruqyah, ta’awwudz (dijadikan suatu perlindungan) dan semisalnya “. (lihat kitab al-Jami’ li ahkam al-Quran : 10/316. Cetakan Dar al-Kutub al-Mishriyyah)

Sedangkan tamimah atau jimat termasuk bentuk ta’awwudz yang ditulis, maka hukumnya boleh menggunakannya atau menggantungkannya dengan niat keberkahan, karena Allah Ta’ala berfirman :

هَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“ Dan Al Qur’an itu adalah andab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian dirahmati.” (QS. Al-‘An’am : 155)

Beberapa ulama wahabi di antaranya Ibnu Baz mengharamkannya secara muthlaq baik digantungkan atau tidak meskipun berisi ayat al-Quran. Ia berdalil dengan beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
“ Sesungguhnya ruqyah, jimat dan tiwalah adalah syirik “
Jika jimat diharamkan berdasarkan hadits ini, berarti ruqyah juga diharamkan secara muthlaq ? kenapa banyak kaum wahabi / salafi sekarang yang juga melakukan praktek ruqyah ? syaikh Ibnu Baz berdalih lagi bahwa ruqyah itu ada pengecualian, artinya ada ruqyah yang dilarang ada ruqyah yang diharamkan. Benarkah demikian ?

Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila dari isa saudaranya, ia berkata;

دخلت على عبد الله بن عكيم أبي معبد الجهني أعوده وبه حمرة فقلنا: ألا تعلق شيئًا؟ قال: الموت أقرب من ذلك، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“ Aku datang kepada Abdullah bin Akim Abi Ma’bad al-Jahni menjenguknya yangs sedang sakit panas, maka kami katakan padanya, “ Tidakkah kamu menggantungkan sesuatu saja ? “, ia menjawab, “ kematian lebih dekat dari itu “. Maka Nabi shallallahu ‘alaihiw wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka diwakilkan padanya “. (HR. Ahmad, al-Hakim danTurmudzi)

Imam al-Qurthubi mengomentari maksud perkataan Nabi tersebut :

فمن علَّق القرآن ينبغي أن يتولاه الله ولا يَكِله إلى غيره؛ لأنه تعالى هو المرغوب إليه والمتوكل عليه في الاستشفاء بالقرآن

“ Maka siapa yang menggantungkan al-Quran sebaiknya ia menjadikan Allah sebagian wakilnya dan tidak mewakilkan kepada selain-Nya, karena Allah Ta’ala lah yang menjadi harapan dan tempat sandaran di dalam berobat dengan al-Quran “. (lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/320)
Artinya beliau membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran asalkan tetap bersandar kepada Allah.

Diriwayatkan juga dari ‘amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا فَزِعَ أَحَدُكُمْ فِي النَّوْمِ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ؛ فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ

“ Jika seorang diantara kalian merasa takut di dalam tidurnya, maka ucapkanlah :

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

Maka gangguan-gangguan setan tidak akan membahayakannya “. Ia berkata; “ Dahulu Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma mengajarkannya kepada anaknya yang sudah baligh dan menulisnya untuk yang belum baligh di sebuah lembaran lalu digantungkan di lehernya “. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Dalam hadits Mushannaf Ibnu Abi Syaibah :

أن سعيد بن المسيب سئل عن التعويذ فقال: “لا بأس إذا كان في أديم”، وعن عطاء قال: “لا بأس أن يعلق القرآن”، وكان مجاهد يكتب للناس التعويذ فيعلقه عليهم، وعن الضحاك أنه لم يكن يرى بأسًا أن يعلق الرجل الشيء من كتاب الله إذا وضعه عند الغسل وعند الغائط، ورخَّص أبو جعفر محمد بن علي في التعويذ بأن يُعلق على الصبيان، وكان ابن سيرين لا يرى بأسًا بالشيء من القرآن.

“ Bahwasanya Said bin Musayyib ditanya tentang ta’widz (sesuati yang dijadikan perlindungan), maka beliau menjawab; “ tidak mengapa jika (ditulis) pada kulit “. Dari Atha’ ia berkata, “ tidak mengapa menggantunkan (jimat) yang terdiri dari ayat al-Quran “. Dahulu Mujahid menulis ta’widz untuk orang-orang lalu menjadikannya gantungan leher pada mereka “. Dari Ad-Dhahhak ia berpendapat,” bahwasanya tidaklah mengapa sesorang membuat jimat gantungan dari andab Allah apabila diletakkan ketika hendak mandi atau buang air besar “. Abu Jakfar Muhammad bin Ali membolehkan jimat gantungan pada anak kecil. Ibnu Sirin juga bependapat tidaklah mengapa membuat jimat dengan al-Quran “. (lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah; 5/43-44)

Dari riwayat-riwayat hadits ini sangat jelas, membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran atau dzikir ataupun doa yang baik. Dan menjadi bukti adanya pengecualian soal jimat. Artinya ada jimat yang dilarang dan ada jimat yang diperbolehkan bahkan digantungkan pada leher hukumnya juga boleh.

Dalam kitab Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani disebutkan :

(ولا بأس بالمُعاذة) وهي التمائم -والتمائم الحروز- التي (تعلق) في العنق (وفيها القرآن) وسواء في ذلك المريض، والصحيح، والجنب، والحائض، والنفساء، والبهائم بعد جعلها فيما يكنها]. اهـ، ففُهم من ذلك أن ما كان من القرآن جائز إذا جُعل في شيء يحفظه.

“ Tidaklah mengapa dengan jimat yang digantungkan di leher dan di dalamnya berisi ayat al-Quran, baik diperuntukkan untuk yang sakit, sehat, junub, haid, nifas ataupun binatang setelah dibungkus sebagai pengamannya “. (lihat Kifayah ath-Tahlib ar-Rabbani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani : 2/492. Cetakan Dar al-Fikr)

Bisa anda pahami bahwa jimat yang berisi ayat al-Quran hukumnya boleh jika dibungkus dengan sesuatu yang menjaganya. Imam Malik mengatakan :

لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك

“ Tidaklah mengapa menggantungkan tulisan yang berisi asma Allah Ta’ala di leher-leher orang yang sakit atas dasar tabarruk (ngalap berkah) “. (lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/319)

Imam an-Nawawi dalam andab Majmu’nya menyebutkan hadits
من علَّق تميمة فلا أتم الله له، ومن علَّق ودعة فلا ودع الله له

“ Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.”

Lalu menukil komentar imam al-Baihaqi sebagai berikut :

ان النهي راجع إلى معنى ما قال أبو عبيد- أي: ما كان بغير العربية بما لا يدري ما هو- ثم قال -أي البيهقي-: وقد يحتمل أن يكون ذلك وما أشبهه من النهي والكراهة فيمن يعلقها وهو يرى تـمام العافية وزوال العلة بـها على ما كانت عليه الجاهلية، أما من يعلقها متبركًا بذكر الله تعالى فيها وهو يعلم أن لا كاشف له إلا الله ولا دافع عنه سواه، فلا بأس بـها إن شاء الله تعالى

“ Sesungguhnya dalam hadits itu yang dilarang adalah kembali pada apa yang dikatakan oleh Abu Ubaid, “ yang dilarang adalah yang selain bahasa Arab yang tidak dapat dipahami maknanya “, kemudian imam Baihaqi mengatakan, “ Terkadang dimungkinkan sifat yang terlarang dan makruh adalah bagi orang yang menggantungkannya dan berpandangan akan mendapat kesempurnaan afiat dan hilangnya penyakit dengan jimat tersebut yang juga diasumsikan konon pada masa jahiliyyah. Adapun orang yang menggantungkannya dengan niat ngalap berkah dengan dzikir Allah Ta’ala di dalamnya dan dia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menyingkap penyakit kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali Allah, maka tidaklah mengapa yang demikian itu insya Allah “. (al-Majmu’, imam Nawawi : 9/66. Cetakan Dar al-Fikr)

Imam Nawawi pun tidak mengomentari hujjah imam Baihaqi tersebut tanda, tidak adanya penolakan dari imam Nawawi akan hal ini dan setuju dengan komentar imam Baihaqi tersebut.

Al-Hafidz ibnu Hajar mengatakan dalam hal ini setelah menyebutkan hadits-hadits tentang larangan menggantungkan jimat :

هذا كله في تعليق التمائم وغيرها مما ليس فيه قرآن ونحوه، فأما ما فيه ذكر الله فلا نـهي فيه؛ فإنه إنـما يجعل للتبرك به والتعوذ بأسـمائه وذكره

“ Semua ini dalam hal menggantungkan jimat dan selainnya yang tidak berisi ayat al-Quran dan semisalnya. Adapun yang berisi dzikir kepada Allah, maka tidaklah terlarang. Karena sesungguhnya hal itu hanyalah dijadikan untuk mengambil berkah saja dan berta’awwudz dengan asama Allah dan dzikir kepada-Nya “. (lihat Fath al-Bari syarh Sahih al-Bukhari : 6/142. Cetakan Dar al-Ma’rifah)

Al-Qadhi Abu Ya’la ulama dari kalangan Hanabilah mengatakan :

يجوز حمل الأخبار- أي الـمانعة- على اختلاف حالين، فنهى إذا كان يعتقد أنـها النافعة له والدافعة عنه، وهذا لا يجوز؛ لأن النافع هو الله. والموضع الذي أجازه إذا اعتقد أن الله هو النافع والدافع. ولعل هذا خرج على عادة الجاهلية، كما تعتقد أن الدهر يغيرهم فكانوا يسبونه
“ Boleh hukumnya membawa jimat, ini ada dua keadaan; pertama dilarang jika meyakini jimat itu yang membawa manfaat dan menolak bahaya, ini tidak boleh, karena yang memberi manfaat adalah Allah. Dan tempat diperbolehkannya jimat, adalah jika meyakini bahwa Allah lah yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Hal ini keluar dari kebiasaan jahiliyyah, sebagaimana kaum jahiliyyah meyakini bahwa tahun bisa merubah nasib baik mereka sehingga mereka mencacinya “. (lihat Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, al-Bahuti : 2/77. Cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah )

Perbedaan pendapat dalam hal memang ada, namun tidaklah menjadi hal yang pondasi pokok untuk memvonis si pengamal ataupun pelaku sebagai seorang yang musyrik. Segala sesuatu yang masih diperdebatkan oleh ulama, maka tidak boleh saling mengingkarinya dan inipun sudah dipahami baik kaum Aswaja maupun kaum Salafi sendiri, tapi entahlah bocah-bocah puber sekarang ini yang lapaknya mulai terasa tersaingi…

Renungkan kasus Usamah bin Zaid berikut :

عَنْ أَبِي ظَبْيَانَ قَالَ : سَمِعْتُ أُسَامَة بنْ زَيد يَقُوْلُ : بَعَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عَلْيهِ وَسَلَّمَ إِلىَ الحُرَقَةِ ، فَصَبَّحْنَا اْلقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مَنَ اْلأَنْصَارِ رَجُلاً مِنْهُمْ ، فَلَمَّا غَشَيْنَاهُ قَالَ : لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، فَكَفَّ اْلأَنْصَارِيُّ عَنْهُ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حتَّى قَتَلْتُهُ ، فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا أُسَامَةُ ! أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ : لَا إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، قُلْتُ : كاَنَ مُتعَوِّذاً ، فَمَا زَالَ يُكَرِّرهَا حَتىَّ تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ ذَلِكَ اْليَوْمَ ، وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَه : أَلاَ شَقَقْتَ عَلىَ قَلْبِهِ ، فَتَعْلَمَ أَصَادِقٌ أَمْ كَاذِبٌ قَالَ أُسَامَةُ : لاَ أُقَاتِلُ أَحَداً يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلاَّ اللهُ .

“ Dari Abi Dzibyan, ia berkata berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah SAW mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan. Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi SAW telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaaha illallah?!” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Usamah,
“Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.
Persitiwa ini sudah cukup memberi peringatan pada mereka yang suka memvonis kafir secara serampangan kepada kaum muslimin lainnya. Walaupun pada kenyataannya orang tersbut hanya berpura-pura agar tidak dibunuh dan hal itu diketahui oleh Usamah, namun Rasulullah Saw sangatlah melarang hal itu dan sangat murka, sebab hal itu menyangkut persoalan hati dan persoalan tauhid yang sangat butuh terhadap hujjah yang nyata dan tegak.

Imam Al-Haramain berkata :

لَوْ قِيلَ لَنَا : فَصِّلُوْا مَا يَقْتَضِي التَّكْفِيْرَ مِنَ اْلعِبَارَاتِ مِمَّا لاَ يَقْتَضِي ، لَقُلْنَا : هذاَ طَمَعٌ فيِ غَيْرِ مَطْمَعٍ فَإنَّ هذَا بَعِيْدُ اْلمُدْرَكِ وَعِرُ اْلمَسْلَكِ يُسْتَمَدُّ مِنْ أُصُوْلِ التَّوْحِيْدِ وَمَنْ لَمْ يُحْظَ بِنِهَايَاتِ اْلحَقَائِقِ لَمْ يَتَحَصَّلْ مِنْ دَلَائِلِ التَّكْفِيْرِ عَلىَ وَثَائِقَ

“ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikatnya maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”. (Mafaihm Yajibu ‘an Tushahah)

Imam Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad berkata :

وَقَدْ اِنْعَقَدَ اْلإِجْمَاعُ عَلىَ مَنْعِ تَكْفِيْرِ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ اْلقِبْلَةِ إِلاَّ بِمَا فِيْهِ نَفْيُ الصَّانِعِ اْلقَادِرِ جَلَّ وَعَلاَ أَوْ شِرْكٌ جَلِيٌّ لاَ يُحْتَمَلُ التَّأوِيْلُ أَوْ إِنْكاَرُ النُّبُوَّةِ أَوْ إِنْكاَرُ مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ أَوْ إِنْكاَرٌ مُتَوَاتِرٌ أَوْ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ ضَرُوْرَةً مِنَ الدِّيْنِ

“ Telah ada konsesus (kesepakatan) ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu “.(Mafaihm Yajibu ‘an Tushahah)

Imbuhan :
Dalam dua video ini terlihat jelas si PAL membacakan doa dan ayat-ayat al-Quran kepada serban dan sapu lidih. Melihatnya saya merasa lucu sekali dengan orang-orang puber ini. Menampakkan jelas tidak paham agama soal ini tapi merasa dirinya paling benar seolah yakin menjadi sang pembasmi kemusyrikan.

Pertanyaan untukmu wahai sang puber…

1. Tunjukkan kepada saya dalil ayat al-Quran, Hadits maupun maqolah salaf shalih tentang penampakan kedua video tersebut ??
2. Apa bedanya pada kami ketika kami membacakan doa dan ayat-ayat al-Quran kepada tasbih ?
3. Lebih mulia mana menepuk lembut menggunakan media tasbih dengan memukul keras menggunakan media sapu lidih ?