Akidah Ulama Salaf Mengenai Ayat Mutasyabihat

Mengimani ayat-ayat mutsyabihat dan menyerahkan maknanya kepada Allah subhanahu wa ta’aala tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. 
Ulama Salaf ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (102 – 189 H) berkata :
“ Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. (I’tiqad Ahlis sunnah, al-Lalikai : 3/432)
Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H) berkata :
“ Aku (Hanbal) bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, dan Allah Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya dan semisalnya ?”, maka imam Ahmad menjawab : “ Kami mengimaninya dan kami membenarkannya, tanpa kaif dan tanpa makna “. (Dzam at-Takwil : 21)
Dua ulama salaf ini sudah cukup mewakili manhaj salaf dan sudah cukup sebagai bukti bahwasanya manhaj ulama salaf shalih dalam menyikapi ayat shifat adalah Mengimaninya dan membenarkannya tanpa menafsirkan maknanya dan tanpa menyerupakan Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Seluruh ulama salaf sudah ijma’ (sepakat) tidak berani menafsirkan maknanya bahkan sama sekali tidak mau membicarakan teks-teks mutasyabihat dan shifat. Sebagaimana dinyatakan oleh imam Ibnu Khuzaimah (223 – 311 H) :
  “ Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan mereka atas al-Quran dan Sunnah “. (Aqaawil ats-Tsiqaat : 62)
Akidah wahabi-salafi.
Akidah wahabi justru menyalahi akidah ulama salaf, mereka menetapkan sifat-sifat itu dengan menetapkan makna-makna dzhahirnya dan menafsirkan dengan makna-makna tertentu bahkan dengan takwil yang bathil. 
Ketahuilah wahai wahabi, makna dhahir bahasa Arab dari teks shifat semisal Yad (tangan), Rijl (kaki), Wajh (wajah), Isbi’ (Jari), Nuzul (turun) dan sebagainya adalah makna yang menunjukkan jisim dan organ. Seluruh ulama baik ulama ahli lughah, fiqih, tafsir dan tauhid sepakat bahwa makna dhahirnya secara hakikat dalam bahasa Arab tidak ada lain bermakna JARIHAH yakni alat atau organ tertentu. Sedangkan Allah tidak membutuhkan Alat atau organ untuk berbuat. Allah lah yang menciptakan alat dan organ untuk makhluk-Nya berbuat. 
imam Abu Jakfar ath-Thahawi (seorang ulama salaf ) berkata :
وَتَعَالىَ- أَيْ اللهُ- عَنِ اْلحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَعْضَاءِ وَاْلأَدَوَاتِ، لاَ تَحْوِيْهِ اْلجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ اْلمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. (Al-Aqidah ath-Thahawiyyah : 28)
Imam ahli tafsir al-Qurthubi (578 – 656 H) mengatakan :
“ Sungguh telah diketahui sesungguhnya madzhab ulama salaf adalah meninggalkan memperdalam (pembicaraan makna) disertai keyakinan mereka dengan kemustahilan dzahir-dzahirnya, maka mereka mengatakan : “ Laluilah sebagaimana datangnya “. (Al-Jami’ li Ahkaam al-Quran : 4/12)
Al-Imam Badruddin bin Jama’ah (694 – 767 H) menegaskan tentang prinsip ulama salaf dalam menyikapi nash shifat sebagai berikut :
“ Barangsiapa yang menganut (mengaku) mengikuti ucapan ulama salaf, dan berucap dengan ucapan tasybih (penyerupaan) atau takyiif (visualisasi), atau membawa lafaz atas dzahirnya dari apa yang Allah Maha Suci darinya berupa sifat-sifat baharu, maka dia telah berdusta mengaku mengikuti madzhab salaf, lepas dari ucapan dan keseimbangan salaf “. (Iydhah ad- Dalil fi Qat’i Hujaji Ahli ath-Ta’thil : 93)
Lihatlah wahai wahabi, para ulama telah sepakat untuk tidak berpegang dengan makna dhahir teks-teks mutasyabihat atau shifat. Maka jelas kalian telah menyelisihi dan menentang akidah salaf karena kalian telah berpegang dengan dhahir ayat-ayat dan hadits-hadits shifat. 
Wahabi menetapkan JARIHAH (alat dan organ) bagi Allah :
Bahkan ulama kalian dengan terbuka dan terang-terangan menetapkan adanya organ dan anggota tubuh bagi Allah, naudzu billahi min hadzal i’tiqaad. 
Ibnu Baz berkata :
“ Meniadakan jisim, organ dan anggota tubuh dari Allah adalah termasuk ucapan yang tercela “ (Tanbiihaat ‘ala man ta’awwala ash-Shifaat : 19)
Muhammad Khalil Harras mengatakan dalam ta’liqnya :
“ Menggenggam tentunya dengan tangan secara hakekatnya bukan dengan nikmat. Jika mereka berkata “ Sesungguhnya huruf ba di sini bermakna sebab maksudnya dengan sebab iradah kenikmatan “, maka kita jawab pada mereka “ Dengan apa menggengam itu ?? karena sesungguhnya menggenggam itu butuh kepada alat, maka niscaya tak ada jawaban dari mereka, jika saja mereka mau merendahkan diri mereka “. (Ta’liq kitab tauhid Ibnu Khuzaimah yang dicetak tahun 1403 terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah pada halaman 63)
Lihat wahai wahabi, ulama kalian denga tegas dan terang-ternagan meyakini Allah mempunyai organ dan anggota tubuh, bahkan Allah dituduh butuh terhadap alat untuk menggenggam, naudzu billahi min dzaalikal i’tiqad as-suu..
Wahabi menafsirkan dan mentakwil bathil nash shifat :
Ibnu al-Utsaimin menafsirkan dan mentakwil ISTIWA dengan JULUS (duduk). Ia menukil ucapan Ibnul Qayyim sebagai berikut :
 “ Adapun menafsirkan istiwa denagan duduk, maka telah menukil Ibnul Qayyim dalam ash-Shawaaiq : 4/1303….Makna istiwa tidak ada lain hanyalah duduk “ (Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin : 135)
Ibnu Utsaimin menafsirkan dan mentakwil ISTIWA dengan ISTIQRAR (bersemayam) :
“ Jika kamu bertanya : Apa makna istiwa menurut Ahlus sunnah ? maka maknanya adalah tinggi dan istiqrar / bersemayam “. (Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ibnu Utsaimin : 375)
Wahai wahabi, tidak kah ini jelas bagimu ? lihat dan renungkan ulama kalian telah menyelisihi manhj ulama salaf yang sama sekali tidak menafsirkan makna nash shifat, akan tetapi ulama kalian malah menafsirkannya bahkan mentakwilnya dengan takwil yang bathil. 

Jika kalian bertanya, bukankah kaum Ays’ariyyah juga ada yang mentakwil nash shifat ??
Kami jawab dengan fakta dan realita yang diungkap oleh imam ahlus sunnah yang juga disanjung-sanjung oleh wahabi yakni al-imam al-mufassir al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berikut :
“ Dan langit kami bangun dengan “ aydin “ dan kami benar-benar meluaskannya “. (Ibnu Katisr menafsirkan) : “ Dan langit kami bangun”, maksudnya adalah kami jadikan atap yang terjaga dan tinggi , “ Dengan ayidn “, maksudnya adalah dengan kekuasaan “, telah menafsirkan hal itu (dengan kekuasaan) Abbas, Mujahid, Qatadah, ast-Tsauri dan selain satu (banyak) “. (Tafsir Ibnu Katisr : 4/303)
Lihat dan renungkan, al-Hafiz Ibnu Katsir telah menyatakan bahwa beberapa ulama salaf terkadang mentakwil ayat shifat sperti imam Abbas, Mujahid, Qatadah, ats-Tsauri dan banyak lagi. Ini pengakuan dari beliau bahkan dari banyak ulama. 
Kesimpulan :
Manhaj ulama salaf :
– Mengimaninya dan tidak menafsirkannya : Tapi kaum wahabi justru menafsirkannya bahkan mentakwilnya dengan takwil bathil.
– Memalingkan maknanya dari makna dhahirnya : tapi wahabi justru memahaminya dengan makna dhahirnya.
– Diam dan tidak mau membicarakannya : tapi wahabi justru senang membicarakkanya dan bahkan memaknainya dengan makna tertentu lagi bathil. 
Jelas bukan, bahwa wahabi menyelisihi dan menentang ajaran dan manhaj ulama salaf shalih. Maka sadarlah dan bertaubatlah serta buang akidah sesat kaum wahabi selagi kalian masih hidup, pintau taubat selalu terbuka bagi hamba-hambanya yang tulus dan ikhlas bertaubat.
Ibnu Abdillah Al-Katibiy

* Tidak kami tulis teks arabnya utk menyingkat waktu

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*