Oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Fenomena kesurupan telah menjadi bahan kajian lintas budaya dan agama, serta diperdebatkan antara pendekatan ilmiah dan keimanan. Artikel ini menyajikan pendekatan interdisipliner antara psikologi barat dan khazanah Islam klasik dalam memahami kesurupan. Dalam tradisi Islam, kesurupan dianggap sebagai salah satu bentuk gangguan makhluk gaib (jin), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadis sahih. Sementara dalam psikologi modern, ia sering dijelaskan sebagai bentuk disosiasi, abreaksi, atau konversi dari trauma psikis. Artikel ini bertujuan menjembatani keduanya, serta menawarkan pendekatan yang holistik, ilmiah dan teologis.
1. Pendahuluan Fenomena kesurupan (trance possession) merupakan peristiwa psikospiritual yang telah dikenal dalam berbagai peradaban manusia. Dalam masyarakat Islam, kesurupan identik dengan gangguan jin, sementara psikologi modern memandangnya sebagai bagian dari gangguan mental seperti disosiatif, histeria, atau bentuk coping mechanism terhadap tekanan emosional. Perbedaan pendekatan ini kerap menciptakan dikotomi antara “akal” dan “iman”, antara “medis” dan “gaib”. Padahal, fenomena ini menuntut pemahaman yang holistik.
2. Perspektif Psikologi Modern Dalam literatur psikologi kontemporer, kesurupan sering diklasifikasikan ke dalam gangguan disosiatif, khususnya dalam kategori Dissociative Trance and Possession Disorder (DTPD) menurut DSM-5. Gejalanya mencakup:
- Hilangnya kesadaran akan identitas diri
- Perilaku tak terkendali seolah-olah dikuasai “entitas lain”
- Tidak ingat kejadian setelah kejadian trance
Beberapa teori menyatakan bahwa fenomena ini merupakan bentuk ekspresi psikis dari trauma atau konflik bawah sadar yang mencari pelampiasan (Freud), atau bentuk kondisi neurotik akibat tekanan sosial dan budaya (Jung).
Namun, kritik utama terhadap pendekatan ini adalah: teori-teori tersebut tidak mampu menjelaskan:
- Kasus kesurupan massal dengan gejala seragam
- Reaksi terhadap stimulus religius seperti ayat-ayat Al-Qur’an
- Fenomena xenoglossy (berbicara bahasa yang tidak diketahui sebelumnya)
- Munculnya kekuatan fisik luar biasa atau kesadaran baru
3. Perspektif Islam tentang Kesurupan Islam memandang bahwa jin adalah makhluk halus yang diciptakan dari api dan hidup berdampingan dengan manusia. Dalam QS. Al-Baqarah:275, disebutkan: “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena gila.” Ini menjadi dalil eksplisit tentang gangguan jin.
Hadis-hadis shahih menguatkan hal ini, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam tubuh manusia sebagaimana darah mengalir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama seperti Imam Ibnu Qutaibah, imam Ghazali, Imam Suthi, Syaikh Badruddin Asy-Syibli hingga syaikh Ibn Taymiyyah dan syaikh Ibn Qayyim, telah menulis panjang lebar tentang hakikat kesurupan sebagai bentuk pengaruh jin atas tubuh atau jiwa manusia.
Metode penyembuhan dalam Islam pun telah dikodifikasikan dalam bentuk ruqyah, yakni bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa Nabi untuk mengusir jin atau memutus gangguan ruhani.
4. Integrasi Dua Pendekatan: Menuju Pemahaman Holistik Fenomena kesurupan bukanlah domain tunggal. Dalam banyak kasus, terjadi interaksi kompleks antara faktor psikis, neurologis, sosial, dan spiritual. Maka pendekatan yang memadukan antara psikologi dan spiritualitas diperlukan:
- Psikologi menjelaskan sisi trauma, represi bawah sadar, dan tekanan sosial.
- Islam menjelaskan eksistensi makhluk halus dan pengaruhnya terhadap manusia.
Dalam konteks ini, bisa dibangun model bio-psiko-spiritual, yaitu:
- Menyadari kondisi kejiwaan klien secara klinis (anxiety, depresi, trauma)
- Menganalisis jejak spiritual dan gangguan ruhani (dosa, sihir, jin)
- Menyusun intervensi multidisipliner: psikoterapi dan ruqyah, kognitif dan zikir
5. Kesimpulan Menolak keberadaan jin dalam kasus kesurupan semata-mata karena teori psikologi barat adalah bentuk reduksionisme yang menafikan salah satu dimensi realitas: dimensi gaib. Padahal dalam epistemologi Islam, ilmu tidak semata-mata empiris, tetapi juga bersandar pada wahyu dan kesaksian spiritual.
Sebaliknya, membatasi kesurupan hanya sebagai gangguan jin juga menutup ruang evaluasi psikis yang bisa jadi relevan. Maka, keseimbangan ilmu syar’i dan ilmu empirik perlu dijaga.
Fenomena kesurupan, dengan segala kompleksitasnya, harus dipahami dengan adab ilmu: membuka hati terhadap wahyu, membuka akal terhadap data, dan membuka tangan untuk solusi. Inilah jalan keilmuan yang hakiki dan menyeluruh. Wa Allahu A’lam
Leave a Reply